Total Pageviews

31.12.12

Italy with Mission


23.12.2012
Went to Italy with one mission
Yes, that mission
No matter how hard
I decide to try
No regret
Hopefully


Italy taught me many things
Rome - Florence - Pisa - Venice
Each of the place got own story
But the most
Beautiful and touched this heart
is you, Venice
The feeling, the scenery
Is so indescribable
Just like my feeling
Here inside this small heart

View from the room

29.12.2012
Came back to this place
Leaving Venice behind
Give me thousand reasons to cry
But I went to Italy with mission
So I need to be strong
And even stronger
Because the one I fight for
Is you



22.12.12

Datang dan Pergi


Sesuatu itu datang dan pergi
Datang secara tiba-tiba
Hilang juga sekelip mata
Bila datang
rasa hidup bahagia, gembira
tersenyum sepanjang masa
Bila pergi,
Rasa kosong,
menangis sepanjang masa
Ada sebab dan hikmah
tapi bukan semudah itu hati menerima
Kenapa hadir andai akhirnya perlu pergi
tanya semula
kenapa hidup dan akhirnya mati?
Ada sebab kita hidup,
Ada sebab kenapa seseorang itu hadir
Ada sebab kita mati,
Ada sebab kenapa seseorang itu pergi..

Feveret Biscuits!
sekarang ada, kejap lagi hilang dalam perut..


meet Mr.Jimmy.. wait for the blue Jimmy to come..
Blue Jimmy is coming?
maybe yes,maybe not..i've plan but the best planner is Him


Somehow, teman yang selalu ada dan tak pernah pergi dari sisi kita
tetap Allah kan..
Cheers!

21.12.12

This Journey


This journey
Give me a lot of experiences
This journey
Introduce me to world
This journey
Test my ability
My weakness 
My strength
My feeling
My mind
This journey
Took many things from me
The most precious one is you
This journey
Kill the emotion we create
Kill the relation we built
This journey is so mean
To me
If only I got choice
Now i know where I want to go back to
To the time where
I know I have you

Turki - France -Spain - Egypt

16.12.12

Perjalanan


Perjalanan ini
menghayutkan aku
Jauh dari mereka yang aku sayang
Perjalanan ini
Menjarakkan hati aku
Daripada mereka yang aku kasihi
Dalam perjalanan ini
Aku terpaksa mengalah
Demi memenuhi kehendak 
Mereka yang aku sanjungi
Perjalanan ini
Menyakitkan hati
Menekan jiwa
Mengacau minda
Menghancurkan perasaan
Perjalanan ini memenatkan
Perjalanan ini penuh liku dan duri
Yang nampak hanya di mata ini
Perjalanan ini
Hanya untuk memenuhi impian mereka
Tetapi perjalanan ini juga
Membawa mereka pergi
Adakah aku lagi yang perlu berusaha
Mengembalikan mereka ke sisi
Sedangkan mereka tidak peduli?


Miss you DikNuh!!


Hati Kecil Itu


Dunia yang luas ini
Terlalu kecil untuk hati itu
Dunia yang kejam ini
Terlalu ganas untuk hati itu
Dunia yang penuh pura-pura ini
Terlalu menyakitkan untuk hati itu
Dunia yang singkat ini
Terlalu pantas untuk dikejar oleh hati itu
Hati itu
Terlalu kecil untuk menanggung dunia
Namun digagahi jua
Disakiti,dilukai,dikhianati
Tetap cuba mendapatkan
Sesuatu yang dirasakan perlu
Hati itu
Pernah cuba berputus asa
Bersendirian membawa duka
Tidak mahu semangat yang hilang
mengganggu konsentrasi sahabat yang ada
Tetapi akhirnya
Kembali jua ke tempat sama
Bukan sengaja mencari bala
Kerana hati itu
Dipenuhi rasa cinta dan kasih
Kepada mereka yang pernah hadir
Sakitilah, abaikanlah, jauhkanlah
Hati itu akan tetap cuba
Walau apa jua caranya
Hingga putus asa pilihan yang ada
Atau sehingga
Perasaan itu hanyut bersama masa


6.12.12

Duri di dalam Daging Itu


Perjuangan yang keseorangan
tidak semudah disangka
hati mudah dirasuk
jiwa mudah terganggu
bahasa mudah terkasar
fikiran mudah melulu
mata mudah menjeling
telinga mudah berpaling
yang benar hanya aku & caraku!
yang lain hanya hingusan & picisan!
..Astaghfirullah..
bangunlah wahai diri
bukan dunia yang dicari
bersihkan seketul daging itu
pergilah bersama manusiawi
kenalkanlah kita semua kepada Ilahi
tiada yang sempurna
aku,dia,kita & mereka
tiada yang lebih mulia
masing-masing ada masa di duga
doakanlah sama-sama mampu menghadapnya
sama-sama berdiri di atas jalan-Nya
sama-sama berkumpul di Jannah-Nya
bersabarlah...

18.5.12

No One

No one really knows
what it is inside this heart
They only saw
My fake smile

No one really understand
But they kept to pretend
I give the best that I can
But I'm dying at the end

Everyone expecting me
to be excited and happy
what actually inside here
only the sadness and worry

I'm hoping for someone
who knows what I want
who can read my mind
who will be there when I cry
who will listen and understand
and try to make things more pleasant

15/8/10....  

12.5.12

Bersedihlah!


Aku tersungkur di persimpangan
terjatuh mengharapkan huluran 
yang dulu sedia ada 
kini aku tercari-cari dalam kecewa
aku tahu aku perlu bangkit sendiri
meneruskan perjalanan ini
namun air mata membuatkan pandanganku kelam
segelap pekatnya malam
namun malam ada bulan menerangi
aku kosong,hanya mampu menyanyi
hati tak tenang asyik merindui
sahabat yang dulu pernah berjanji
selagi degupan jantung masih berbunyi
akan setia menemani
aku mendongak ke langit
cuba membuang kisah manis yang perit
aku bangun dalam kesakitan
melangkah penuh dengan keyakinan
langit masih kukuh tanpa pendokong
burung masih terbang tanpa ditolong
teguh berdiri banjaran gunung
bumi masih indah tidak disanjung
tanda cinta yang Maha Agung
aku masih tercari-cari
sedangkan Dia tidak pernah pergi
cuma hati tidak menyedari
siapa Dia di dalam hati
di mana Dia di dalam hati
dan 
sekuat mana yakin bahawa Dia sentiasa menemani
aku masih rapuh dalam meyakini
masih ada ragu menyelimuti
yang patut dicari adalah cinta abadi
bukan cinta manusia yang mudah ditukar ganti
tetapi kenapa masih merindui?
tanda hati masih mati
hanyut dalam kebahagian duniawi
yang sementara pasti
bangunlah wahai diri
pilihlah jalan yang lurus
agar minda jadi terurus
dan supaya hati itu tidak putus
bangunlah wahai diri dan berusaha
walau terjatuh Allah tetap ada
lupakanlah perkara dunia dan manusia
terutama mereka yang membawa ke arah bencana
biarlah mereka mencari artis
biarlah mereka mencari 'girlish'
doakan suatu hati nanti
hati tertarik dengan ukhrawi
hati mereka,hati kita dan hati semua
kembali kepada
yang Maha Esa
jangan bersedih lagi
tanamkanlah visi diri
dalam mencari cinta hakiki
bersama misi-misi tersusun
agar terus istiqamah dalam keadaan apa sekalipun
bangunlah, pilihlah dan berjuanglah
bersama keyakinan dan doa kepada-Nya
tidak salah bersedih
tapi bersedihlah kerana Dia
bersedihlah kerana kurang mendekati-Nya
bukan kerana cinta manusia!



6.5.12

12 o'clock letter. Tik Tok Tik Tok.




I have the first look at you and in a second I like you.
Ever since I saw you that day, I felt there is something different about you.
There is so much people that are pretty out there but you are just perfect for me.
I don't know why. 
Am I crazy?Liking you when I've never meet you.
Whenever you are sad, I felt the pain.
Whenever you are angry, I am burning inside.
Whenever you are hurt, it causes me a deep wound.
And the best part is, you don't even know me. And I don't even know you.
I know you are hurt.
Every boy is a villain to you now, and the world turns black.
Life is cruel for you.
When we are young, everything seems to be at the end of the world.
but, it is not.
Today,
I am sitting here watching the moon and smiling. I am praying that one day, you will know that life
isn't always that cruel.
In the small part of this world, there is someone who can support you and be with you whenever
you are in pain, sadness and hurt
I don't ask you to believe me.
I just ask you to believe in destiny.
If you let me,
I will be by you side,
For now and always,





30.4.12

Kau bernama teman

.
..
...
maafkan aku teman,
aku harus terus berjalan,
walau gurisan yang kau tinggalkan,
akan tetap kuingat,
sebuah persahatan,
yang membentuk aku,
menjadi seorang insan,
yang dulu pernah meragukan masa depan,
kini melangkah, berjuang keseorangan..
terima kasih kawan!




23.4.12

Since u Left me,


Masa dan jarak ibarat makhluk yang hanya dapat diperkata, tapi tidak disentuh apatah lagi dirasa. Andai masa berlari, mustahil kita dapat mengejar. Andai masa pergi, mustahil kita dapat menuntut kembali. Sama juga dengan jarak, andai jarak itu sejengkal, jelas pandangan mata menyaksikan. Namun, andai jarak melangkaui benua, mata terhalang, kesetiaan yang melegakan. Saat mata memandang skrin yang membantu mengatasi mata dan jarak, dengan ihsan makhluk baru bernama internet, Nazihah terdiam seribu bahasa. Yang dinanti tak juga tiba. Makin ditunggu, makin perit terasa. Hubungan sedari kawan, beralih kepada teman yang kini diganti dengan nama pertunangan, menambah lagi beban hati yang merindu. Teringat janji mereka sebelum kaki melangkah pergi, biar zahir tidak kelihatan, tetapi hati biar sentiasa berpautan. Yakin, perpisahan mampu  menguatkan lagi ikatan hati, Nazihah akur, membawa diri. Setahun yang dilalui benar-benar menguji kesabaran dan kesetiaan Hakimi. Mungkin kerana, perkataan yang dibaca dalam email dan ketika chatting, tidak sampai ke hati, kerana lain cara bacanya, lain maksud yang diterima. Bukan dia tidak yakin akan kesetiaan Nazihah, tapi entah kenapa, ada sahaja yang tidak puas di hati dia.

‘Hai Zihah. How’s study?’
‘Everything just fine. Sini sejuk sikit sekarang. Nak winter agaknya.’
‘Seronok kan dapat rasa 4 musim. Entah bila nak rasa semua tu.’
‘Ada rezeki, adalah..’
Hakimi mengeluh. Hatinya terasa diperli. Dia tahu, nasib dirinya tak sebaik diri Nazihah, kekasih hatinya itu. Dia terkandas dalam peperiksaan akhir mereka. Kadang-kadang, timbul rasa mereka tidak sekufu. Tidak malukah Nazihah dengan nasib dirinya?
‘Are u still there Kimi?’
‘Yes, I’m here. But I need to go. Kawan ajak pegi makanlah’
‘oh. Ok then,selamat makan.’
‘Bye,take care’
‘Thank you. Take a good care too.’
Nazihah tersenyum kelat. Tak sampai lima minit waktu yang diperuntukkan untuk dirinya. Sudahlah susah ingin mencari ruang dan peluang untuk dua-dua berada di hadapan laptop, tapi begitu mudah dia meminta diri untuk kawan yang sentiasa di hadapan mata. Nazihah agak terkilan, namun dia cuba untuk mengerti. Kerja yang ditangguh sebentar tadi kerana ditegur Hakimi ditatap semula. “aku akan sentiasa ada untuk kau Hakimi walau macam mana sibuknya aku..”

Hakimi mencatat nota-nota yang masih tertulis di papan putih, sambil mulut terkumat-kamit menyanyi lagu yang sentiasa bermain di fikiran. Pelajar lain mula meninggalkan kelas, mengatur langkah panjang ke kafe berhampiran sementara menunggu kelas yang berikutnya.
“Amboi menyanyi. Rindu dekat girlfriend lah tu.” Julia menghampiri.
“Eh, Jue. Ade kelas dekat sini ke lepas ni?”
“ Yup. And u still here? Tak pergi minum dengan kawan-kawan ke?”
“Tadi I tertidur dalam kelas. Tak sempat nak salin note. Buruk kan perangai..” Hakimi tergelak sendiri.
“Biasalah tu. Kalau tak tidur dalam kelas, bukan student namanya.”
Hakimi mula mengemas barang-barang dan dimasukkan ke dalam beg galasnya.
“I gerak dulu. U jangan tidur pula nanti.” Julia hanya mengangkat bahu, tidak mahu berjanji. Hakimi menggeleng-geleng kepala dengan karenah Julia. Sementara duduk di kafe, dia terfikir. Andai Nazihah di tempat Julia tadi, sudah pasti dia akan diperli kerana tertidur di dalam kelas. Pasti ada saja nasihat dan tips untuk mengelakkan perkara yang sama terjadi. Jam sudah menunjukkan jam satu petang. Di UK, matahari baru saja terbit. Sebaik selesai solat subuh, Nazihah sudah bersiap-sedia untuk ke kelas. Sebelum melangkah untuk menunggu bas, email di ‘check’ terlebih dahulu, mengharapkan ada kata-kata mutiara daripada Hakimi. Namun, semua itu hanyalah ada ketika dia baru sampai ke bumi asing dulu, dalam tiga bulan yang pertama. Selepas itu, bukan sahaja kata-kata mutiara, kata-kata biasa juga tidak kedengaran. Nazihah tidak mahu perasaan itu merosakkan mood pada hari itu. Dia ada kelas hingga petang. Dia memerlukan persediaan mental dan fizikal yang sempurna untuk itu. Dia yakin, ketiadaan kata-kata mutiara tidak bermakna namanya tiada dalam doa Hakimi.

‘Salam Kimi. Lamanya tak dengar cerita. Awak sibuk ke?’
‘Wsalam. Taklah sibuk sangat. Tapi jarang bukak laptop akhir-akhir ni.’
‘oh. Awak sihat?’
‘Alhamdulillah. Awak kat sana macam mana?’
‘Alhamdulillah semua baik-baik je.’
‘Zihah, sorry, tapi Kimi ada kerja nak kena siapkan.’
‘Eh, tak apa. Sorry mengganggu buat kerja.’
‘Awak tak ganggu saya pun.’
‘Sibuk sungguh awak. Lain kali kita sembang ye.’
‘Nanti bila Kimi free, Kimi buzz ye.’
‘I’ll wait for that, although it seem impossible.’
‘Apa maksud awak?’
‘Awak kata tadi nak buat kerja. Siapkanlah kerja dulu.’
Perbualan terputus di situ. Hakimi mula menyampah dengan sikap Nazihah yang begitu senang merajuk, terlalu inginkan masa dan perhatian. Mula terbit rasa rimas di hatinya untuk melayan gadis itu. Dia menutup laptop dan mencapai kertas-kertas yang minta untuk disiapkan. Namun, hatinya terganggu. Begitu juga Nazihah yang mula menyesali sikapnya tadi. Bukan sengaja dia hendak tunjuk betapa kecewanya dia dengan sikap Hakimi. Bukan sengaja dia hendak bersikap keanak-anakan. Cuma, dia merasakan Hakimi sudah terlalu jauh daripadanya. Dia ingin Hakimi mengetahui apa yang dia rasakan. Kerana kekesalan itu, telefon bimbit dicapai dan nombor Hakimi didail. Lama menunggu panggilan itu jawab. Akhirnya, suara yang dirindu dapat didengar di hujung talian.
“Yes Zihah. Apa lagi?U want to explain what u want to say just now?”
“Kimi. I’m so sorry for being too childish. Sorry please..”
“Kimi dah biasa sangat. Dah selalu awak buat macam tu. At this point, I feel fed up lah.”
“Sorry, Zihah tersalah dengar ke? Awak fed up with me?”
“U know, sometimes u just being too childish, seek for attention..”
“ok..So it’s all my fault then. I’m so sorry.”
“Ini lagi satu. Kenapa senang sangat awak nak admit semua benda salah awak. Tak boleh ke awak argue.”
“Zihah tak faham apa yang awak nak sebenarnya? I just don’t want this thing, small thing ruin our relationship.”
“Awak memang takkan faham Kimi.” Hakimi terus mematikan talian. Hatinya sakit menahan segala rasa yang terbuku selama ini. Namun, rasa lega tidak hadir dalam hatinya. Hatinya dicucuk perasaan tidak tenteram. Tetapi, tiada sebarang langkah memperbetulkan apa yang berlaku diambil. Dia seakan tekad memutuskan segalanya antara dia dan Nazihah. Nazihah yang terkejut dengan kata-kata Hakimi, terduduk di birai katil sungguh tidak sangka dia mendengar semua itu daripada mulut Hakimi sendiri. Terasa kesetiaan yang dijaga selama ini dikhianati. Terasa hati kecilnya disiat-siat. Air mata mengalir semahunya, tersedu-sedu dia cuba menahan.

Julia menghampiri Hakimi yang termenung di tepi padang kolej. Kehadirannya langsung tidak disedari. Hakimi seakan begitu asyik melayan perasaan.
“Hoi. Ape kes,termenung sorang-sorang. Tak main bola sekali dengan yang lain ke?” Julia duduk di tepi Hakimi.
“Tak ada mood lah nak main. Layan perasaan ni, kadang-kadang seronok juga.”
“Apa yang u fikirkan?”
“Tentang masa silam dan masa akan datang.” Julia tergelak mendengar penjelasan Hakimi.
“U are in the present Kimi. Buat apa penat-penat fikirkan tentang masa silam yang dah berlalu dan masa akan datang yang belum ada?”
“Tapi apa yang berlaku dalam masa silam kita boleh belajar sebagai persediaan masa depan.”
“Memang betul. Tapi tak semua perkara atau benda atau orang yang ada dalam masa silam kita, akan ada dalam masa depan kita.So, macam mana kita nak bersedia dengan sesuatu yang kita dah buang sekarang, dan yang akan  kita kutip dalam masa-masa tertentu?” Hakimi terdiam dan cuba memikirkan kata-kata Julia.
“Hargai apa yang kita ada sekarang, supaya nanti kita tak menyesal. Mungkin nanti, u akan duduk berfikir macam ni jugak dan menyesal sebab u habiskan masa macam ni, bukan gunakan masa untuk menghargai apa yang u ada dalam hidup u.” Julia cuba menerangkan apa yang ada difikirannya. Hakimi terkenangkan Nazihah. Dia yakin, Nazihah bukanlah sesuatu yang akan membuat dia menyesal suatu hari nanti. Sekurang-kurangnya, dia sudah ada Julia di sisi. Julia lebih memahami, lebih mengerti hatinya.
“u fikir tentang Nazihah ke?”Hakimi terkejut dengan soalan itu.
“Tak adalah. Nazihah masa silam bagi I. sekarang I dah ada u.”

Air mata itu menitis tanpa segan. Hatinya terluka saat memikirkan begitu mudah Hakimi mengucapkan kata-kata yang begitu menghancurkan perasaannya. Kadang-kadang dia terasa bodoh kerana terus bersabar dengan sikap Hakimi selama ini. Minggu hadapan, dia akan kembali ke Malaysia, menghabiskan cuti panjang selama tiga bulan. Tiada perancangan, Cuma penjelasan yang sewajarnya harus dikarang agar ibu bapanya tidak terlalu terkejut dengan berita itu. Saat tiba di lapangan terbang, Nazihah disambut mesra. Ibunya dapat melihat wajah sugul anak gadisnya itu, namun segala persoalan yang bermain di benaknya di tahan. Malam itu, Nazihah menceritakan segalanya kepada ibunya yang setia mendengar.
“Kakak macam mana?Kakak boleh lepaskan dia?”
“Kakak sayang dia bu. Tapi, kalau dia dah tekad, kakak dah tak boleh nak buat apa-apa. Kakak tak kuat nak lawan.”
“Tapi,kalau kakak tak cuba, kakak tak tahu kan.”
“Ibu rasa apa yang kakak patut buat?”
“Jumpa dia. Bawak berbincang. Anak ibu ni bukan gadis belasan tahun yang mentah, tak matang. Selesaikan perkara ni baik-baik. Bukan sendiri-sendiri ambil keputusan, duduk diam-diam, dan harap semuanya selesai sendiri. Dan ibu pun harap Hakimi cukup matang untuk perbincangan ni. Apapun, ibu sentiasa sokong kakak.” Nazihah memeluk ibunya erat. Kasih ibu sentiasa membawa ke syurga. Dia mahu menjadi gadis yang dewasa, tak kalah dek perasaan dan emosi yang terbawa-bawa.

Nazihah bersama adiknya Nadirah turun daripada perut kereta, memasuki kawasan kolej. Nazihah sudah menghubungi Fadli, teman sekuliah Hakimi tentang waktu kelas mereka. Sekarang sepatutnya mereka tiada apa-apa kelas. Kelibat Hakimi dicari di segenap ruang. Nadirah juga membantu Nazihah mencari lelaki itu. Mata Nazihah dapat menangkap dua susuk tubuh di sebalik bangunan pentadbiran. Saat mata hatinya menangis, kakinya melangkah menuju ke arah mereka.
“Hai Kimi.” Nazihah memberikan senyuman lebar kepada mereka.
“Awak. Bila awak balik?” Hakimi yang agak terkejut tidak dapat menahan rasa gembira melihat Nazihah di depan mata. Rasa rindunya seakan mekar, rasa bahagia hadir di segenap ruang hatinya.
“Zihah sampai semalam. I tried to call u, tapi tak dapat.” Hakimi teringat, semalam memang ada nama Nazihah terpampang di skrin telefonnya. Namun, dia hanya mengabaikan panggilan itu.
“Hai Zihah.” Julia menghulurkan tangan.
“Hai.” Tangan itu disambut. Mata Nazihah memandang Julia lama.
“Awak, ni Julia, kawan Kimi. Jom kita borak-borak.”
“Awak, Zihah ada perkara nak bincang dengan awak. Mungkin lepas awak habis kelas nanti.”
“ Kimi dah habis kelas. Shall we?”
“Julia?”
“Jue ada kelas. Just proceed.”
“ok then. Nice to know u Jue.” Nazihah sempat menjeling Julia. Namun dia sedar, bukan semudah itu dia boleh mempersalahkan Julia. Sebelum masuk ke dalam kereta, Nazihah menghentikan langkah.
“Mungkin kita boleh selesaikan dekat sini ke Kimi.”
“Sini? Apa yang penting sangat ni?” Hakimi seakan lupa akan segala tindakannya. Tindakannya melukakan hati Nazihah, mengabaikan segala panggilan Nazihah serta langsung tidak menghubungi Nazihah sejak pergaduhan mereka.
“Apa sebenarnya status hubungan kita dan siapa Julia pada awak?” soalan itu mengubah mimik muka Hakimi, dia sedar dia kini berada di satu saat di mana dia perlu bertanggungjawab atas semua perbuatannya. Namun dia juga sedar, hatinya begitu gembira, fikirannya begitu teruja saat melihat Nazihah.
“Awak, Kimi nak minta maaf untuk semua yang dah terjadi. Kimi tahu, Kimi salah. And Julia..” Hakimi cuba mencari kata-kata yang seakan hilang. Dia keliru hendak mengatur kerana dia sedar, dalam satu ketika, dia sudah tekad menggantikan tempat Nazihah dengan Julia. Hakimi terlihatkan air mata yang bergenang di kelopak mata Nazihah. Begitu berusaha gadis itu menahan agar air mata itu tidak tumpah. Bukan dia tidak kenal gadis itu. Hakimi tahu hati gadis itu begitu terluka.
“Julia tahu awak tunang saya?” Nazihah cuba membuka ruang untuk mereka berbincang.
“Jue tahu. Tapi..” kata-katanya terputus lagi. Julia tahu statusnya sebagai tunang orang, tapi bagaimana mereka boleh menjadi rapat sebegitu. Tiba-tiba persoalan itu muncul di benaknya.
“Tapi awak pun dah jatuh hati pada dia kan. Kimi, please argue..” air mata yang ditahan kini tumpah saat Hakimi terdiam seribu bahasa. Nazihah cuba mengesat air mata yang terus berjujuran. Hakimi terlihat cincin pertunangan mereka yang masih setia di jari manis Nazihah. Hatinya terguris, terguris dengan perbuatannya sendiri.

Tiga tahun berlalu, tetapi setiap saat begitu berat untuk Nazihah lalui. Sepanjang tiga tahun, dia tidak pulang ke Malaysia. Cuti semester dihabiskan dengan bercuti, mencari ketenangan di sebalik ciptaan Ilahi yang sangat indah tiada cacat cela. Air mata sentiasa menjadi teman yang paling setia. Bersusah payah berperang dengan perasaan, Nazihah berjaya juga membawa pulang segulung ijazah. Sebelum mula bertugas sebagai pembantu pegawai pemasaran, Nazihah berehat seketika di rumah. Ibunya mengajak dia menemani ke kenduri tahlil teman ibunya tidak jauh dari rumah mereka. Nazihah tidak menolak. Dia mengenakan sepasang kurung kelabu, memandu kereta ayahnya ke rumah itu. Suasana rumah itu suram. Majlis pengkebumian telah selesai. Ibunya cuba menenangkan perasaan kawannya yang baru kehilangan suami. Nazihah duduk di ruang tengah bersama tetamu-tetamu yang lain.
“Zihah kan.” Nazihah disapa seseorang. Dia berpaling memandang empunya suara.
“Julia. What a small world.” Nazihah agak terkejut.
“Ini rumah pak cik saya. Meninggal sebab sakit jantung.”
“Takziah daripada saya. Itu ibu saya. Bestfriend you aunty.”
“Terima kasih Zihah. Kehilangan yang sangat besar buat kami.”
“Sedih kan bila orang yang kita sayang diambil daripada kita. Saya dah rasa semua tu,walaupun bukan perpisahan yang abadi.” Julia tersentak.
“Zihah, saya minta maaf untuk semua yang terjadi.”
“maaf untuk yang mana?untuk perasaan saya yang hancur, untuk segala susah payah saya teruskan hidup, untuk segala air mata saya yang mengalir atau untuk seseorang yang awak ambil daripada saya?” Nazihah memandang tajam.
“Saya bukan nak tambah lagi kesedihan awak. Tapi saya juga masih bersedih dengan kehilangan saya.” Bukan dia ingin berdendam, jauh sekali ingin membalas dendam. Namun, dia tidak dapat menahan perasaan yang terbuku sekian lama.
“I’m sorry Jue. Saya tak dapat nak kawal perasaan saya.” Tangan Julia ditarik rasa kesal terbit dalam hatinya.
“Tak. Awak layak ucapkan semua tu. Saya akui, memang sakit bila seseorang diambil daripada kita, terutama bila orang itu sumber kekuatan kita. Baru sekarang saya betul-betul dapat rasa kehilangan awak. Selama ini, saya hanya dapat melihat. Tapi, kita takkan rasa selagi kita sendiri tak rasa. Saya minta maaf sangat-sangat Zihah. Kalaulah masa boleh diputar, saya akan jauhkan diri saya daripada Hakimi.”
“Tak baik meletakkan perkataan kalau. Kalau tu hanyalah permainan syaitan. Awak doakan saya dapat terima semua ini dengan hati yang terbuka. Saya gembira untuk awak. Sekurang-kurangnya saya tahu, Hakimi menjadi milik awak.”
“Awak salah. Hakimi tak pernah jadi milik saya. Sejak awak datang jumpa dia dekat kolej dulu, kami dah renggang. Saya dapat lihat kehilangan dia. Dia kehilangan sumber kekuatan yang selama ini dia yakin dia boleh hidup tanpanya. Dia kehilangan awak sepenuhnya.”
“sepenuhnya?”
“Walaupun sebelum tu Hakimi rapat dengan saya,dia tak pernah lupa cerita tentang awak. Sehingga timbul di hati saya, saya ingin mengambil tempat awak. Dia rapat dengan saya, tapi dalam masa yang sama dia masih menjadikan awak pembakar semangat dia untuk belajar. Saya berada di depan dia, tapi hati dia tetap pada awak. Pada saat dia mengabaikan awak, disebalik senyuman dia, saya dapat lihat kekusutan. Dia kusut,tapi dia tak tahu kenapa.” Nazihah mendengar penuh perhatian. Mulutnya terkunci mendengar kisah itu.
“selepas awak pergi, dia sedar, perkara yang paling dia perlukan dalam masa silamnya, masa sekarang dan masa akan datang adalah awak. Tapi dia juga sedar, awak dah pergi jauh atas keputusan yang dia ambil sendiri.”

Hakimi memetik tali-tali gitar yang terlalu sumbang di telinganya. Tiada bait lagu yang mampu mengubati hati, yang mampu menenteramkan hatinya. Tiga tahun ini betul-betul  menghukum dirinya. Surat tawaran kerja yang diterima dipandang sepi. Ini sudah yang ketiga. Sebelum ini semuanya ditolak. Bukan dia yang menghantar CV, tapi kerja kawan-kawan yang mahu dia berjaya. Dia mahu berjaya namun tiada daya yang menolak dia untuk berlari. Gitar itu diletak ke tepi. Surat itu dibaca lama. Dia bangun, mengagahkan diri yang longlai. Dia mencari baju yang sesuai untuk pergi melaporkan diri. Kali ini dia perlu kuat, perlu memaksa diri untuk berdiri dan melangkah melupakan perkara-perkara yang memakan dirinya sendiri. Tiba di kawasan pejabat, dia hampir berpatah semula. Kaki agak berat melangkah. Hakimi  menunjukkan surat kepada seorang pekerja yang menunggu di meja pertanyaan. Pekerja itu membawa Hakimi masuk ke dalam kawasan pejabat.
“Encik tunggu sini dulu. Nanti Encik Faiz akan panggil encik masuk pejabatnya. Encik nak air?Coffee?”
“No, thanks.” Hakimi memberikan senyuman. Dia duduk menunggu untuk dipanggil sambil bermain dengan telefon bimbit di tangan.
“Awak ke yang nak jumpa Encik Faiz?”
“Ye saya.” Hakimi mendongak.
“Zihah!” matanya bulat memandang Nazihah di depan matanya.
“Do I know u?Silakan.” Hakimi mengerutkan dahi seakan keliru dengan situasi itu. Dia cukup yakin, yang di hadapannya itu Nazihah. Hakimi terus mengekori Nazihah masuk ke dalam sebuah bilik.
“Encik Faiz tak masuk pejabat hari ni. Dia minta saya tengok-tengokkan awak.”
“u are Zihah right?Nur Nazihah Nazrin?” Nazihah memandang wajah itu lama.
“Yes Hakimi. I’m Zihah. Puas hati.”
“Ya Allah. Kimi tak sangka boleh terjumpa dekat sini. Patutlah Allah detikkan hati ini untuk datang hari ni.”
“Kimi, ini office. Kita letakkan kisah-kisah lama ke tepi. Boleh?”
“can we have a talk?nice and short?”
“Apa lagi yang awak nk cakap. Kalau pasal hal dulu, Zihah dah tutup buku. Zihah tak nak ungkit lagi.”
“Kimi nak minta maaf untuk semuanya. Tahu, perkataan maaf daripada mulut Kimi tak akan dapat sembuhkan segala luka. Takkan dapat kembalikan keceriaan yang dulunya milik kita. Takkan dapat kembalikan keadaan macam dulu.”
“Zihah maafkan. Tapi maafkan dan melupakan adalah dua perkara yang berlainan. Zihah harap Kimi faham.Jom, Zihah tunjukkan tempat Kimi.” Hakimi mengangguk lemah. Jemari Nazihah diperhati. Tiada lagi cincin itu, lambang perhubungan mereka. Hakimi masih ingat saat pertunangan mereka diputuskan. Dia tidak sanggup menerima cincin itu dipulangkan. Dia meminta agar Nazihah terus menyimpan cincin itu. Tapi ternyata, kisah mereka sudah menjadi kisah silam untuk Nazihah.

Nazihah runsing, hatinya kacau. Dia memang masih dihantui kenangan silam. Dia masih menangis atas apa yang terjadi. Tiga tahun tidak mampu mengubati kelukaan itu. Kini, apabila Hakimi muncul di depan mata, bersama ucapan maaf, hatinya luluh. Dia tidak mahu terus dibelungi perasaan dan emosi. Dan dia tidak boleh meninggalkan syarikat itu sesuka hati. Tetapi, bukan satu perkara mudah untuk dia berhadapan dengan lelaki itu setiap hari. Hati itu masih menyanyangi, namun cukup takut untuk disakiti lagi. Cukup-cukuplah dengan apa yang dilalui. Dia tidak mahu melaluinya sekali lagi.Suasana malam itu begitu hening. Nazihah keluar ke laman,menghirup udara malam yang menyamankan hatinya. Sedang menikmati langit bersama bintang-bintang, telefon bimbitnya berdering.
“Hello..”
“Hai Zihah.” Nazihah kenal suara itu.
“ Hai Kimi.”
“Sorry kacau malam-malam ni. Tak puas bersembang tadi.”
“ Tak kacaulah..”
“Zihah, mungkin ke kita dapat jadi macam dulu?”
“I don’t think so Kimi.”
“Hati awak betul-betul dah tertutup untuk Kimi.”
“Biar ada ruang, biar ada rasa, tapi tak yakin untuk serahkan pada awak sekali lagi. Perit awak tahu..”
“Kimi faham. Zihah tak selesa ke Kimi satu office dengan Zihah? Kimi boleh resign.”
“Tak perlu Kimi. Kita dah besar,bukan budak-budak lagi. InsyaAllah, semua akan baik-baik je.”
“Tapi, kalau one fine day, u feel distracted, not comfortable, do tell me.”
“Since when u become so concern about other’s feeling?” Nazihah mempertikai cara Hakimi.
“Since u left me..” perbualan mereka sunyi seketika.
“ok Kimi. I need to go.”Nazihah cuba menghentikan perbualan mereka.
“since when u know how to end a conversation?”Giliran Hakimi pula mempertikai tindakan Nazihah.
“since u left me..” Mereka tergelak dengan ucapan masing-masing.
“Nampaknya, semua yang terjadi dah jadikan kita manusia yang lebih baik daripada sebelumnya.” Nazihah berkata sambil cuba menahan tawa.
“I’m happy for that. I’m happy for you. I’m happy we can talk like this.Thanks.” Hakimi tidak dapat membendung rasa gembira di hatinya.
“Thank more to Allah.”

Kadangkala, warna hijau yang ingin dilakar,
namun warna biru yang terwarna.
Bulatan yang ingin dilukis,
namun segitiga yang terukir.
 Kita boleh merencana,
namun Dia lebih berkuasa.
Kita boleh mengaduh sedih,
namun Dia tempat mengadunya.
Di sebalik deruan angin kencang, awan berarak hitam,
Akan datang hujan menyubur bumi,
Pelangi menghiasi hari.
Hikmah adalah rahsia,
Yang bahagianya akan dapat dirasa,
Andai kesabaran menjadi kuncinya,
Dan redha yang menguatkannya.
Walau kadang terpaksa,kadang tak rela,
Yakinlah Allah itu sentiasa ada.

18.4.12

Dalam keramaian itu..

Dalam kesibukan masa,
pertemuan terlaksana dalam keramaian kota.
masa dan jarak,
telah menjauhkan kita.
kau aku,
kini dua watak berbeza.
berjalan seiringan,
namun langkahan tidak sama.
kata-kata,
tiada lagi dinilai bahasanya.

Dalam keramaian itu,
perpisahan juga tercipta.
melangkahnya engkau tanpa memalingkan muka,
seakan yakin suatu hari,
kita pasti berjumpa.
aku pula,
terkapai-kapai dalam keramaian,
seakan yakin suatu hari,
tak akan ada pertemuan lagi.

Dalam keramaian itu,
air mata bergenang menanti jatuh,
hati bergolak terlalu rapuh,
sekuat melangkahnya kaki,
sekuat itu seharusnya hati,
biarlah keramaian itu menjadi saksi,
engkau memang telah pergi.


11.4.12

Suatu Hari Nanti

Adila merenung kertas putih di hadapannya. Kekadang dia tersenyum, mencoret sesuatu di atas lembaran itu. Kemudian dia berhenti, memandang ke langit, memandang ciptaan Ilahi itu lama. Dia menarik nafas dalam. Sesungguhnya, apa yang ada dalam fikirannya adalah sesuatu yang membahagiakan perasaannya. Dia kembali ke lembaran putih itu. Tulisan itu disambung bersama lorekan kecil berbentuk rama-rama. Rama-rama, simbolik dirinya, yang terbang mengembara, mencari bunga yang berkembang mekar untuk persinggahan. Setiap persinggahan memberi kesan yang berlainan. Setiap persinggahan ada pengajaran di sebaliknya. Setiap persinggahan mengajar hati tentang realiti kehidupan yang sebenarnya. Kadang-kala, sayapnya lelah saat harus melawan arus angin mendatang. Kadang-kala, hanya statik menurut tiupan angin. Bebas berterbangan, namun bahaya sang burung sentiasa ada dalam ingatan. Sang burung itu bijak, tahu mencari kesempatan dalam kelalaian. Tahu mencari ruang dalam kesesatan. Tahu mencari tempat memulakan umpanan. Apa yang penting adalah sentiasa ada dalam ingatan, kebebasan jangan sekali –kali dijadikan punca kealpaan.

“Cik kak!” lamunan Adila terhenti. Empunya suara dicari.
“Amboi Cik Ila, mana salam awak?” Adila mengusik.
“ Ala Ady..Nak perli pulak. Assalamualaikum Cik Ady..” Halilah tersengih.
“Janganlah terasa Ila..Tapi memang baik pun bagi salam kan?” Adila mencubit lengan temannya itu perlahan.
“Tak ada maknanya terasa. Apa pulak kisah hari ni?Tengok sikit..” Ila mengambil lembaran di hadapan Adila. Dia tersenyum.
“Tak boleh puitis lagi ke? Kau kan, macam orang tengah angau tau. Tapi angau pada bayangan yang entah wujud ke tak.” Halilah meletakkan kembali lembaran itu di tempatnya.
“Aku tak kata dia ada. Tapi ada saja kemungkinan yang dia wujud. Cuma dia tak ada di depan mata kita. Mungkin juga, dia tak ada sekarang, tapi mana tahu suatu hari nanti.” Adila berhujah panjang.
“Tak habis-habis dengan ‘suatu hari nanti’ kau tu. Asalkan tak kacau pelajaran, maintain dean list, aku sokong je karya-karya seni kau ni. Jom, dah nak maghrib ni.” Halilah membantu temannya itu mengemas barangan di atas meja.
“Terima kasih Ila. Kau je yang faham aku tau. Orang lain mesti anggap aku ni kuat berangan.” Mereka melangkah seiring.
“Tapi kau memang kuat berangan pun.”

Kelas hari ini tamat lebih awal daripada yang sepatutnya. Adila masih tidak mengatur apa-apa rancangan hujung minggu ini. Halilah mencadangkan mereka keluar menonton wayang, namun hatinya tidak tergerak untuk itu. Dia ingin menghabiskan masanya di pantai. Tetapi, mana hendak dicari pantai di Bandar ini? Kolam renang ada. Tak mungkin bersantai di tepi kolam renang memberi kesan yang sama dengan pantai bersama ombak dan angin yang berderu menyejukkan hati. Adila terdiam seketika, menghirup Nescafe ais yang dipesannya tadi. Keliru tentang masa yang perlu dimanfaatkan sepenuhnya. Berada di tahun akhir, masa sangat-sangatlah perlu dihargai. Bukan setakat masa, kawan-kawan, suasana persekitaran, pelajaran, semuanya lah. Semuanya ini akan ditinggalkan. Yang pasti, setiap yang ditinggalkan pasti dirindui, pasti diingati, tak kiralah yang menyakitkan atau menyenangkan hati.

“Assalamualaikum. Nak tumpang tanya sikit boleh.” Adila tersentak.
“Waalaikumsalam. Boleh-boleh.” Adila membetulkan duduknya.
“Saya tengah cari bilik Professor Ibrahim. Daripada tadi saya pusing-pusing, tak jumpa.” Lelaki itu memberi penjelasan.
“Ohh. Macam mana awak nk jumpa, salah bangunan ni. Tak pe, saya tunjukkan.” Adila menghirup titis-titis akhir Nescafe ais dan mencapai beg.
“Awak tak sibuk ke?”
“Tak. Saya baru habis kelas. Tengah fikir nak habiskan masa dengan apa nanti.”
“Dan awak habiskan masa awak dengan fikir je.” Lelaki itu tergelak kecil.
“Sekurang-kurangnya, masa saya masih digunakan untuk sesuatu yang berfaedah,iaitu berfikir. Kan?” Adila cuba membela diri. Dia membawa lelaki itu melalui celah-celah bangunan.
“Terlupa nak tanya nama.Apa nama awak? Saya Ilham.”
“Saya Adila. Itu bilik Prof.” Adila menunjuk ke arah bilik yang tertutup rapat itu.
“Saya tak rasa prof. ada. Sebab selalunya, kalau prof. ada, pintu tu tak akan tertutup rapat.” Adila meneka. Ilham tersengih.
“Tak pe, saya pergi cuba ketuk dulu pintunya. Kalau tak ada yang sahut, tak adalah.”
“Alright then. Saya pergi dulu.” Adila meminta diri.
“ Terima kasih Ady….” Adila merenung tajam. Dia tidak memperkenalkan dirinya sebagai Ady.
“Sorry, Adila. Terima kasih.” Adila mengangguk dan mula mengatur langkah.

“Terima kasih Ady..” Kata-kata itu terus bermain-main di fikirannya. Adila terdiam, mencari-cari sesuatu. Dia merasakan sesuatu, seakan ada yang dia terlepas pandang. Dia mencapai buku ungunya. Helaian demi helaian diselak. Dia tidak tahu apa yang dicari, tapi dia seakan-akan mendapat bayangan, apa yang dicari itu ada di dalam buku kecilnya itu. Namun, dia hampa. Hingga ke helaian terakhir, apa yang dicari tidak dijumpai. Yang ada di dalam buku itu hanyalah tentang Sinan. Dia mengalah, mungkin hanya mainan perasaan. Dia mengemas katil, bersedia untuk tidur. Lampu bilik dimatikan. Mata itu cuba dilelapkan. Seperti biasa, apa yang berlaku sepanjang hari dinilai semula. Yang baik diteruskan. Yang buruk, perlulah ditinggalkan. Saat mata hampir terlelap, satu suara seakan kedengaran. Dia kenal suara itu, namun memori fikirannya terhenti. Dia terlelap.

“Ady, jomlah ikut aku pergi tengok wayang.” Halilah cuba memujuk Adila.
“Aku malaslah Ila.” Adila cuba mengelak.
“Please, bila lagi kita nak lepak. Nanti dah sibuk dengan projek, assignment. Teman aku,please..” Adila kalah dengan rengekan temannya itu.
“Baiklah Ila. Aku siap kejap. Nanti aku turun.” Halilah tersenyum riang. Dia menunggu Adila di ruangan parkir kereta. Dalam 10 minit, Adila turun.
“Jom.” Halilah memaut lengan Adila, dan mereka melangkah ke hentian bas. Sedang menunggu, sebuah kereta berhenti di hadapan mereka.
“ Assalamualaikum. Nak saya tumpangkan?” Adila menjenguk lelaki yang berada di dalam kereta itu. Suara itu seakan familiar.
“Eh, Ilham. Dari mana nak ke mana?” Halilah terkejut, tidak mengenali lelaki itu.
“Jumpa Professor Ibrahim tadi. Betullah awak cakap semalam, prof. tak ada. Jadi saya jumpa prof. tadi. Jom, saya hantarkan.”
“Tak susahkan ke?”
“Tak lah.” Adila dan Halilah masuk ke dalam perut kereta. Dalam perjalanan, mereka berborak. Makin lama makin rancak. Halilah hanya mencelah sekali-sekala. Tidak mahu mengganggu perbualan mereka. Tiba di mall, Halilah mengajak Ilham untuk menyertai mereka menonton. Ilham tidak menolak, memarkir kereta dan bersama mereka masuk ke dalam.
“Korang nak tengok cerita apa?” Ilham memerhatikan poster-poster yang ada.
“Kau nak tengokcerita apa Ila?” Adila menjeling Halilah.
“Kau dengan Ilham tunggu sini, biar aku yang beli.” Halilah tersengih dan memasuki barisan panjang untuk membeli tiket.
“Banyak benda kita sembang tadi kan. Macam dah kawan lama je.” Ilham tersenyum.
“ Betul. Kelakarkan, macam mana boleh sembang semua benda. Awak tak rasa pelik ke?” Adila mengerutkan dahi,seakan memikirkan sesuatu.
“Nak pelik apa pula. Biasa je. By the way, adik awak tu boleh terima tak kursus dia walaupun tak minat?” mereka meneruskan perbualan mereka di dalam kereta tadi tentang Adiha,adik Adila.
“Nak buat macam mana. Walaupun sekarang dia macam paksa diri, saya yakin…”
“suatu hari nanti dia akan terima..” Ilham memotong ayat Adila.
“ Macam mana awak tahu apa yang saya nak cakap?” Adila berasa pelik. Itukan ‘trademark’ dia. Tapi kali ini orang lain pula yang melafazkan.
“Apa yang awak nak cakap?” Ilham juga pelik dengan persoalan Adila.
“Korang! Nah, satu tiket untuk Ady, satu untuk Ilham.” Halilah membahagikan tiket yang dibeli. Adila menarik Halilah ke tepi.
“Ila, aku rasa ada yang peliklah” Adila berbisik di telinga Halilah.
“Apa yang pelik?Ilham?Dia orang jahat ke?” Halilah kaget.
“Ke situ pula dia. Ilham tu kan, macam Sinan.” Halilah memandang Adila tajam.
“Sinan??” Suara Halilah yang agak kuat menarik perhatian Ilham yang berada tidak jauh dari situ.
“Siapa Sinan?” Ilham meminta kepastian.
“Tak ada siapa-siapa. Tolong belikan popcorn dengan air boleh?” Halilah menghulurkan duit kepada Ilham. Namun duit itu ditolak. Ilham pergi ke tempat makanan ringan dijual.
“Babe, please keluar daripada dunia tu. Kita sekarang dalam reality,bukan fantasi tau. Walaupun kejap lagi kita nak tengok movie yang agak fantasi la juga. Tapi please, kita bukan dalam novel kau.”
“Aku tak cakap macam tu. Tapi, cara Ilham sama dengan Sinan.”Adila cuba meyakinkan Halilah.
“So siapa Fatihah? Aku ke kau?” Halilah cuba mengusik.
“Ila..aku tak main-main tau.” Adila seakan kecewa.
“Ok. Tapi, Sinan tu kan watak fantasi kau. Mana mungkin dia wujud dalam reality..”
“Tapi tak mustahil kan..”Adila memandang ke arah Ilham.
“So,kau nak cakap suatu hari nanti,yang kau selalu sebut tu,hari ni lah?”

Perkenalan mereka menginjak usia 4 bulan. Daripada kenalan biasa, hubungan mereka berubah menjadi lebih akrab. Namun keakraban itu tidak pernah lebih daripada gelaran teman. Seperti biasa, pada waktu petang,selepas kelas, Adila akan duduk mengambil angin di tepi padang. Angin bertiup sepoi-sepoi, sedikit sebanyak membantu Adila mencari idea untuk menyambung tulisannya. Sepanjang 4 bulan ini, hubungan Sinan dan Fatihah ternyata bahagia sebagaimana dirinya. Sambil tersenyum, dia menulis bait-bait perkataan yang bermain di otak. Sesekali, Adila mendongak ke langit. Kelihatan seekor burung terbang agak rendah, berpusing-pusing mencari tempat untuk berhinggap. Tiba-tiba, burung itu jatuh akibat seketul batu yang dibaling oleh kanak-kanak kecil. Kejadian itu sangat mengejutkan Adila. Dia berlari ke arah burung yang nyawa-nyawa ikan, berlawan dengan takdir bahawa ajalnya akan tiba. Namun, kuasa hanya pada Dia. Dalam tempoh 5 minit, burung itu terkujur kaku. Bangkai itu diangkat ke tepi padang. Tanah dikorek,dan jasad itu ditanam. Aksinya itu diperhati oleh kanak-kanak kecil yang membaling batu ke arah burung itu tadi. Adila tidak mampu memarahi mereka, kerana mereka hanyalah anak kecil yang hanya tahu memcari keseronokan dalam kehidupan. Adila cuba menerangkan betapa perlunya kita menghargai dan menghormati hidupan lain, namun mereka seakan tidak faham dan meneruskan permainan. Adila membasuh tangan dan kembali ke hasil tulisannya. Dia memandang coretan itu lama.

“Aku tengok dah lama kau tak menulis. Kering idea ke?” Halilah menghampiri Adila yang berbaring,merenung siling. Adila tidak terus menjawab.
“kenapa dengan kau ni Ady?Dulu waktu kau sibuk menulis, kau angaukan Sinan. Sekarang, takkan angaukan Ilham pula?” Halilah cuba mengusik, ingin menceriakan suasana.
“Aku takut nak teruskan cerita tu..” Adila menjawab perlahan.
“Eh, bukan kau nk siapkan sebelum grad ke?” Halilah agak terkejut dengan penyataan Adila.
“Kau tahu kan, Ilham dengan Sinan macam orang yang sama. Perjalanan kisah aku dengan dia pun lebih kurang kisah Sinan dengan Fatihah..” Adila bangun dari pembaringan.
“So,apa kena mengena dengan kau nak habiskan cerita tu?” Halilah masih tidak mengerti.
“Aku tak tahu nak buat happy ending atau sad ending. Aku macam takut. Kalau aku buat yang gembira, tapi yang sebaliknya jadi, mesti aku sedih yang amat. Tapi kalau aku buat ending sedih,dan macam tu lah akhir hubungan aku dengan Ilham,aku mesti sedih juga. Aku takut..” Adila memejam matanya rapat, mencari kekuatan dari dalam.
“Ady, kau tahu kan aku selalu sokong karya-karya kau.”
“Tahu..” Adila menjawab perlahan.
“Tak bermakna bila sesuatu yang kau tulis jadi kenyataan,semua yang kau tulis akan jadi kenyataan. Semua tu kebetulan.” Halilah cuba menyusun ayat.
“Maksud kau apa? Kebetulan je Ilham sama macam Sinan?”
“ Yang layak menulis perjalanan hidup seseorang manusia hanya Allah, Ady. Kau kena ingat tu. Apa yang jadi selama ni, kebetulan. Kebetulan jalan cerita yang kau karang, sama dengan perjalanan hidup kau sekarang. Tapi kau tak boleh anggap yang perjalanan tu sebab daripada karya kau. Semua tu daripada Allah.” Adila menarik nafas dalam.
“Ingat, jodoh,pertemuan,ajal dan maut, semua Allah dah tentukan sebelum kita wujud dalam dunia ni lagi. Pertemuan kau dengan Ilham, Allah yang aturkan. Sama ada selepas ni korang akan terus bersama, atau berpisah, itu pun hak Allah. Kita tak ada kuasa pun untuk meneka apatah lagi meramal apa yang akan jadi masa depan.”

Nasihat Halilah benar-benar memberi kesan pada hati Adila. Dia terlalu terbawa-bawa dengan perasaan. Teruja apabila Sinan ternyata wujud di alam ini. Adila teringat akan kejadian burung tempoh hari. Pada mulanya, burung itu terbang megah, bebas mengibarkan sayap. Namun, sekelip mata, burung itu jatuh rebah ke bumi. Sayapnya lumpuh.

“Patutkah mereka menutup mata dan tidak memerhatikan(kekuasaan Allah pada) burung-burung yang terbang di atas mereka, (siapakah yang menjaganya ketika) burung-burung itu mengembang dan menutupkan sayapnya? Tidak ada yang menahannya (daripada jatuh) melainkan (kekuasaan) Allah Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya, Dia Maha Melihat serta mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.”
[67:19]

Adila mengucap istighfar atas khilafnya. Ternyata dia lalai dan alpa tentang perkara penting itu. Betapa secara halus, Dia menyampaikan segala nasihat dan teguran. Taksub dengan pemikiran sendiri ternyata menghanyutkan perasaannya. Adila tahu, dia harus meletakkan had dalam perkara itu. Adila memandang langit yang tidak bertepi.
“Ternyata, suatu hari nanti yang ku nanti, adalah cinta daripada-Mu, Ya Rabb. Tiada yang lebih sempurna daripada cinta-Mu.”

“Ila!” Adila menjerit memanggil Halilah yang berjalan melepasi biliknya.
“Eh, mana salam kau Cik Ady..?”
“Sorry, Assalamualaikum Cik Ila..” Adila tersengih melayan karenah Halilah.
“Ada apa macam seronok sangat ni?” Halilah masuk ke bilik Adila dan duduk di katilnya.
“ Tengok ni..” Adila menunjukkan senaskhah kertas putih, elok ber’binding’.
“Eh, dah siap. Boleh aku baca?” Halilah cuba mencapai naskhah itu daripada tangan Adila.
“Nanti,bila dah jadi buku, aku beri satu percuma untuk kau.”
“Wah. Ada mana-mana publication nak ambil cerita kau ni ke?” Adila segera membuka lap top dan menunjukkan satu email kepada Halilah.
“Ady!! Congrate!!” Halilah menjerit kegembiraan sebaik melihat email mengenai tawaran untuk menerbitkan novel Adila.
“ Aku pun terkejut tau. Aku cuba-cuba je hantar, Alhamdulillah dapat.” Adila tersenyum gembira.
“Ilham dah tahu pasal ni?”
“Ilham? Aku dah mesej dia tadi.” Adila masih tersenyum lebar.
“Seronoknya. Paper dah habis, novel dapat publish. I’m happy for you.” Halilah memeluk Adila erat.
“Terima kasih pada kau juga yang banyak beri semangat dan bimbing aku.”
“Kita keluar makan-makan? Sambut sikit.” Adila mengangguk setuju.
“Kau ajaklah Ilham,kita makan sama-sama.” Halilah memberi cadangan.
“ Tak naklah Ila.”
“Ada apa-apa yang kau tak cerita pada aku ke Ady?” Halilah dapat mengecam sesuatu yang tidak kena pada Ady.
“Ilham confess semalam”
“Wow, kegembiraan berganda ni. Ada yang naik pelaminlah tak lama lagi.” Halilah tergelak kecil.
“I don’t think Ilham fikir ke tahap tu.” Adila cuba menenangkan keseronokan Halilah.
“Tapi, kau memang suka dia pun kan. Dia kan Sinan kau. Terima je lah dia jadi teman lelaki kau.” Adila menjeling Halilah.
“Aku mengharapkan suami,bukan teman lelaki. Kan itu prinsip kita?”
“Ye. Kalau macam tu,terus teranglah dengan dia. Biar jelas,tak jadi dendam.”
“InsyaAllah..” Adila menjawab ringkas.
“By the way, I think he will be a good hubby for you. Doa banyak-banyak, sesungguhnya yang tahu hanya Dia.” Halilah sempat berbisik ke telinga Adila sebelum melangkah keluar dari kamar kecil itu.

2.2.12

outofsilence




just wanna try to write again..
no private story,
no other's story,
but only an untold story,
which may just remained as imagination,
or experienced by others,
not me..!!